Pengkhianatan di hari kemenangan

Pangeran diponegoro




(Rekreasi Murah), Salam para pecinta rekreasi murah, setelah lebaran tahun ini kebetulan saya belum kemana - mana, disela - sela waktu luang saya, saya bersilaturahrmi ke beberapa teman dan menariknya ada salah satu teman saya memberikan sebuah artikel yang berhubungan dengan sejarah yang di ambil dari sebuah buku yang berjudul " kuasa ramalan jilid 2 " yang di tulis oleh Peter Carey. Dan membahas tentang surat Pangeran Diponegoro, Pengkhianatan di Hari Kemenangan.

Ini adalah surat Pangeran Diponegoro beraksara Arab Pegon yang ditujukan kepada Kolonel Cleerens dan Mayor H Frederik Buschkens, tanggal 17 Sya’ban 1245 H (14 Februari 1830). Yang menarik dalam surat tersebut adalah bahasa yang digunakannya ternyata menggunakan bahasa jawa rendah (ngoko). Bahasa ngoko ini biasa digunakan oleh raja kepada para pejabat rendahan di keraton. Yang menariknya lagi adalah penempatan cap ditengah surat. Seorang ahli hukum Belanda dan pejabat residen Jogja, JF Walraven van Nes, menafsirkan terkait penempatan cap tersebut. Bahwa ini menunjukkan Diponegoro berdiri ditengah pulau jawa dan dengan kedua lengannya seolah-olah (terbentang), ingin menarik segala hal ke dirinya dan menaruhnya di bawah perlindungannya.

Namun, penjelasan berbeda dikemukakan Pangeran Diponegoro. Dalam babad karyanya pangeran menyatakan bahwa ia telah berkata kepada Cleerens dalam pertemuan Remokamal bahwa ia telah menaruh capnya sebagai Sultan Ngabdulkamid ditengah surat itu karena begitulah letak kota Rasul (Mekkah). Yang dalam pandangan semua muslim yang saleh. Kota tersebut benar-benar berada di pusat dunia. Cap tersebut berbunyi : "Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan 'Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukminin Sayyidin Panatagama Khalifah Rasulillah Ats Tsaani ingkang Jumeneng Satanah Jawa."

Terkait dengan bahasa yang diapakai dan nada surat tersebut, Pangeran Diponegoro sedang memberi perintah kepada Cleerens. Layaknya sebuah perintah dari seorang raja kepada pejabat bawahannya. Jadi sangat wajar buat seorang raja untuk menggunakan bahasa Jawa rendah kepada bawahannya.


Pada awalnya, Pangeran Diponegoro menolak untuk menerima surat dari para perwira dan pejabat Belanda. Sampai ia diyakinkan oleh penasehat agamanya, Kyai Melangi yang menegaskan bahwa di zaman Rasul, jika sepucuk surat sudah diterima, maka surat itu dikaji untuk memastikan apakah isinya baik atau buruk, dan kemudian dijawab. Mendengar keterangan penasehat agamanya, Pangeran Diponegoro sangat terkesan dengan pengetahuan Kyai tersebut tentang kebiasaan Rasul. Setelah itu ia memerintahkan agar surat-surat tersebut dibawa kembali ke markas nya di pegunungan Remo.

Akhirnya, para penasehat Diponegoro berhasil meyakinkan sang pangeran untuk berdamai dan membuka pembicaraan langsung dengan Cleerens, orang Belanda yang dapat dipercaya. Sentot juga mengirim surat kepada sang pangeran agar bersedia berdamai dan bertemu langsung dengan Jenderal De Kock.
Jenderal decock



Begitulah akhirnya Perang Jawa yang telah berlangsung hampir 5 tahun, yang konon nyaris membangkrutkan negeri Belanda, dalam tahap awal pembicaraan untuk disudahi. Pihak Belanda yang awalnya sangat yakin akan menangkap Diponegoro, toh selalu luput dan gagal menangkapnya. Hasan Munadi bahkan mengatakan kepada Cleerens bahwa pihak Belanda tidak akan mampu memikul terus biaya perang. Kalau seandainya Pangeran tetap bersembunyi satu atau dua tahun lagi, pihak Belanda tidak akan sanggup untuk membiayai serdadunya.

Namun sebagaimana sejarah telah mencatat, niat baik Sang Pangeran untuk mengakhiri perang dengan kemauannya untuk berunding, ternyata berakhir dengan penghianatan. Sejak awal Belanda memang tidak berniat untuk berunding. Ajakan perundingan hanyalah siasat untuk menjebak Diponegoro. Janji Cleerens dan De Kock agar Pangeran bisa kembali ke Metesih seandainya perundingan gagal, ternyata hanya Lips Service belaka. Ini bisa kita lihat dari surat yang dikirim Van de Bosch dua hari setelah dirinya sampai di Batavia kepada De Kock ; “Jangan melakukan perundingan apapun dengan dia... hanya dengan syarat pemenjaraan seumur hidup penyerahan diri dan penangkapannya diizinkan. Tidak ada syarat lain apapun juga (yang dapat diterima)”.

Pengkhianatan ini, dikemudian hari diakui sendiri oleh De Kock, dalam catatan harian Magelangnya sang jenderal mencurahkan keraguannya tentang kepatutan perilakunya terhadap Pangeran; “Saya menyadari bahwa cara bertindak seperti itu dipihak saya tidak terpuji, tidak kesatria dan licik. Karena Diponegoro telah datang ke Magelang menemui saya dengan niat baik. Lagi pula ia sendiri tentunya tidak mempunyai rencana jahat karena ia tidak tahu-menahu apa yang akan dihadapi di Magelang.

Walaupun sebenarnya Pangeran punya firasat yang tidak baik yang akan diterimanya, ini sebagaimana pengakuan Patih Gondokusumo (mantan Panglima Perang Jawa) pada tahun 1870-an. Bahwa sebenarnya Pangeran sudah tahu bahwa tuntutannya untuk menjadi Ratu Paneteg Panatagama Wonten ing Tanah Jawi sedaya akan ditolak oleh De Kock. Gondokusumo yang datang setelah sholat subuh, menyarankan kepada Pangeran agar semua pengikutnya yang bersenjata ikut serta mendampingi Pangeran ke Wisma Residen, namun ditolak.

Pengkhianatan Belanda pun ternyata sempat dimuat di beberapa surat kabar negara-negara Eropa. Dan dibelakang ini ada seorang aktor yang berdarah Arab-jawa, yaitu Raden Saleh Syarif Bustaman. Seorang pelukis yang melanglangbuana di Eropa, yang dikemudian hari melukis ulang Hari Penangkapan Sang Pangeran yang sebelumnya dilukis oleh Pieneman. Dalam lukisan Raden Saleh, hari itu digambarkan sebagai fajar baru, namun bukan hanya fajar buat kurun Kolonial yang baru, tapi juga mewartakan bakal runtuhnya tata kolonial. Kenangan akan Sang Pangeran, kepiawaian, dan deritanya, suatu hari akan membebaskan negerinya dari cengkeraman kolonialisme.

Seolah-olah seperti jawaban, alam sendiri akan memamerkan kuasa yang menakutkan bagi peristiwa pagi hari di Magelang itu. Di awal siang itu, tatkala para komandan pasukan gerak cepat Belanda sedang dalam perjalanan kembali ke pos masing-masing di Bagelen dan Kulonprogo,  tumpahlah air hujan yang sangat lebat. Bahkan sampai menghanyutkan kuda tunggangan Wakil Komandan Kolonel Cleerens, ketika menyeberangi sungai dalam perjalanannya kembali ke Kedung Kebo. Begitulah Perang Jawa berakhir, sebagaimana dimulai dengan awan badai angin musim barat.

Sumber Referensi : Kuasa Ramalan jilid 2 : Peter Carey Arab Pegon yang ditujukan kepada Kolonel Cleerens dan Mayor H Frederik Buschkens, tanggal 17 Sya’ban 1245 H (14 Februari 1830). Yang menarik dalam surat tersebut adalah bahasa yang digunakannya ternyata menggunakan bahasa jawa rendah (ngoko). Bahasa ngoko ini biasa digunakan oleh raja kepada para pejabat rendahan di keraton. Yang menariknya lagi adalah penempatan cap ditengah surat. Seorang ahli hukum Belanda dan pejabat residen Jogja, JF Walraven van Nes, menafsirkan terkait penempatan cap tersebut. Bahwa ini menunjukkan Diponegoro berdiri ditengah pulau jawa dan dengan kedua lengannya seolah-olah (terbentang), ingin menarik segala hal ke dirinya dan menaruhnya di bawah perlindungannya.


Namun, penjelasan berbeda dikemukakan Pangeran Diponegoro. Dalam babad karyanya pangeran menyatakan bahwa ia telah berkata kepada Cleerens dalam pertemuan Remokamal bahwa ia telah menaruh capnya sebagai Sultan Ngabdulkamid ditengah surat itu karena begitulah letak kota Rasul (Mekkah). Yang dalam pandangan semua muslim yang saleh. Kota tersebut benar-benar berada di pusat dunia. Cap tersebut berbunyi : "Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan 'Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukminin Sayyidin Panatagama Khalifah Rasulillah Ats Tsaani ingkang Jumeneng Satanah Jawa."

Terkait dengan bahasa yang diapakai dan nada surat tersebut, Pangeran Diponegoro sedang memberi perintah kepada Cleerens. Layaknya sebuah perintah dari seorang raja kepada pejabat bawahannya. Jadi sangat wajar buat seorang raja untuk menggunakan bahasa Jawa rendah kepada bawahannya.

Pada awalnya, Pangeran Diponegoro menolak untuk menerima surat dari para perwira dan pejabat Belanda. Sampai ia diyakinkan oleh penasehat agamanya, Kyai Melangi yang menegaskan bahwa di zaman Rasul, jika sepucuk surat sudah diterima, maka surat itu dikaji untuk memastikan apakah isinya baik atau buruk, dan kemudian dijawab. Mendengar keterangan penasehat agamanya, Pangeran Diponegoro sangat terkesan dengan pengetahuan Kyai tersebut tentang kebiasaan Rasul. Setelah itu ia memerintahkan agar surat-surat tersebut dibawa kembali ke markas nya di pegunungan Remo.

Akhirnya, para penasehat Diponegoro berhasil meyakinkan sang pangeran untuk berdamai dan membuka pembicaraan langsung dengan Cleerens, orang Belanda yang dapat dipercaya. Sentot juga mengirim surat kepada sang pangeran agar bersedia berdamai dan bertemu langsung dengan Jenderal De Kock.

Begitulah akhirnya Perang Jawa yang telah berlangsung hampir 5 tahun, yang konon nyaris membangkrutkan negeri Belanda, dalam tahap awal pembicaraan untuk disudahi. Pihak Belanda yang awalnya sangat yakin akan menangkap Diponegoro, toh selalu luput dan gagal menangkapnya. Hasan Munadi bahkan mengatakan kepada Cleerens bahwa pihak Belanda tidak akan mampu memikul terus biaya perang. Kalau seandainya Pangeran tetap bersembunyi satu atau dua tahun lagi, pihak Belanda tidak akan sanggup untuk membiayai serdadunya.

Namun sebagaimana sejarah telah mencatat, niat baik Sang Pangeran untuk mengakhiri perang dengan kemauannya untuk berunding, ternyata berakhir dengan penghianatan. Sejak awal Belanda memang tidak berniat untuk berunding. Ajakan perundingan hanyalah siasat untuk menjebak Diponegoro. Janji Cleerens dan De Kock agar Pangeran bisa kembali ke Metesih seandainya perundingan gagal, ternyata hanya Lips Service belaka. Ini bisa kita lihat dari surat yang dikirim Van de Bosch dua hari setelah dirinya sampai di Batavia kepada De Kock ; “Jangan melakukan perundingan apapun dengan dia... hanya dengan syarat pemenjaraan seumur hidup penyerahan diri dan penangkapannya diizinkan. Tidak ada syarat lain apapun juga (yang dapat diterima)”.

Pengkhianatan ini, dikemudian hari diakui sendiri oleh De Kock, dalam catatan harian Magelangnya sang jenderal mencurahkan keraguannya tentang kepatutan perilakunya terhadap Pangeran; “Saya menyadari bahwa cara bertindak seperti itu dipihak saya tidak terpuji, tidak kesatria dan licik. Karena Diponegoro telah datang ke Magelang menemui saya dengan niat baik. Lagi pula ia sendiri tentunya tidak mempunyai rencana jahat karena ia tidak tahu-menahu apa yang akan dihadapi di Magelang.

Walaupun sebenarnya Pangeran punya firasat yang tidak baik yang akan diterimanya, ini sebagaimana pengakuan Patih Gondokusumo (mantan Panglima Perang Jawa) pada tahun 1870-an. Bahwa sebenarnya Pangeran sudah tahu bahwa tuntutannya untuk menjadi Ratu Paneteg Panatagama Wonten ing Tanah Jawi sedaya akan ditolak oleh De Kock. Gondokusumo yang datang setelah sholat subuh, menyarankan kepada Pangeran agar semua pengikutnya yang bersenjata ikut serta mendampingi Pangeran ke Wisma Residen, namun ditolak.

Pengkhianatan Belanda pun ternyata sempat dimuat di beberapa surat kabar negara-negara Eropa. Dan dibelakang ini ada seorang aktor yang berdarah Arab-jawa, yaitu Raden Saleh Syarif Bustaman. Seorang pelukis yang melanglangbuana di Eropa, yang dikemudian hari melukis ulang Hari Penangkapan Sang Pangeran yang sebelumnya dilukis oleh Pieneman. Dalam lukisan Raden Saleh, hari itu digambarkan sebagai fajar baru, namun bukan hanya fajar buat kurun Kolonial yang baru, tapi juga mewartakan bakal runtuhnya tata kolonial. Kenangan akan Sang Pangeran, kepiawaian, dan deritanya, suatu hari akan membebaskan negerinya dari cengkeraman kolonialisme.

Seolah-olah seperti jawaban, alam sendiri akan memamerkan kuasa yang menakutkan bagi peristiwa pagi hari di Magelang itu. Di awal siang itu, tatkala para komandan pasukan gerak cepat Belanda sedang dalam perjalanan kembali ke pos masing-masing di Bagelen dan Kulonprogo,  tumpahlah air hujan yang sangat lebat. Bahkan sampai menghanyutkan kuda tunggangan Wakil Komandan Kolonel Cleerens, ketika menyeberangi sungai dalam perjalanannya kembali ke Kedung Kebo. Begitulah Perang Jawa berakhir, sebagaimana dimulai dengan awan badai angin musim barat.

Terima kasih banyak buat rekan saya yang tidak mau di sebutkan namanya yang sudah selalu memberikan masukan mengenai sejarah, Belajarlah dari sejarah sebelum sejarah mengajarimu kembali. 

Pangeran diponegoro


.
.
.
.
Sumber Referensi : Kuasa Ramalan jilid 2 : Peter Carey



home


Posting Komentar

0 Komentar